Kolaborasi tradisi Bugis dan Tionghoa
Dalam setiap perhelatan budayaan, adat maupun tradisi Bugis selalu menghadirkan komunitas ’bissu’. Ini pula yang dilakukan pada perhormatan dan pemujaan terhadap leluhur oleh sebagian masyarakat keturunan Tionghoa di Makassar.
Prosesi “Mattemu Taung” merupakan upacara penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur yang setiap tahun diadakan bertepatan bulan syafar, penanggalan hijriyah. Upacara ini selalu diselenggarakan oleh keluarga besar Liem Keng Boe alias Haji Ismail Daeng Nai atau lebih dikenal dengan sebutan Baba Sanro, yang merupakan warga keturunan Tionghoa. Tujuannya untuk memohon keselamatan bagi seluruh masyarakat luas termasuk keluarga besar Babab Sanro. Upacara ini telah berlangsung puluh tahun yang lalu. Dan selalu menghadirkan para bissu dari Sigeri termasuk pimpinannya Zaidi Puang Matoa.
Upacara ini merupakan perpaduan antara tradisi komunitas China dan Bugis. Dimana dulunya leluhur dari Baba Sanro, yang keturunan warga Tionghoa sempat menikah dengan keluarga Ke-datuan dari kerajaan Luwu, salah satu kerajaan besar di tanah Bugis. Sehingga prosesi upacara selalu melibatkan dua etnis tersebut.
Dalam prosesi Baba Sanro turut berdandan bersama beberapa bissu, dengan dandanan gemayu menyerupai wanita. Setelah berdandan, tibalah gendang ditabu, pelan-pelan Baba Sanro diiringi beberapa bissu berjalan memasuki area “Arrajangnge”, area dimana benda yang dikeramatkan dan diyakini sebagai tempat para ruh leluhur beristirahat. Benda ini menyerupai peraduan yang dihiasi dengan kelambu keemasan.
Di depan arrajangnge telah disiapkan berbagai sesaji. Mulai dari kue tradisional, buah-buahan, ayam hingga kepala kerbau dan sapi yang telah disembeli sehari sebelum ritual penyembahan.
Selesai prosesi membakar dupa dan membaca doa-doa dengan khusyuk, Baba Sanro bersama para bissu mulai menari tarian para bissu atau lebih dikenal dengan Mabbissu, dengan berputar di depan sesaji yang dihelai kain khusus. Konon menurut keyakinan mereka, sesajian yang dihelai kain khusus ini menunjukan empat titik yang mengandung filosofi tanah, air, angin, dan api.
Alunan gendang yang mengiringi kian cepat dan satu persatu bissu maupun Baba Sanro, mulai menghunus keris keramat yang semula terpasang di pinggang, untuk kemudian menusukkannya kebeberapa bagian tubuh mereka seperti, tangan, perut dan leher, tanpa terluka dan tergores sedikit pun. Prosesi ini dikenal dengan sebutan “Maggiri”.
Menurut Haji Ismail (Baba Sanro) yang juga pemimpin upacara Mattemu Taung, kegiatan ini menjadi ritual yang terus dipertahankan dan dilestarikan terus, dalam rangka memupuk kebersamaan dan kecintaan terhadap leluhur dalam memohon kesejahteraan, keselamatan dan kebahagian dengan melibatkan semua agama dan aliran kepercayaan yang menyakini upacara ritual ini. “Ritual ini selalu melibatkan semua aliran agama dan kepercayaan tanpa perbedaan karena tujuan diadakannya ritual ini untuk menghormati para leluhur Tionghoa bukan untuk tujuan negatif,” ujar pria yang sekaligus pemilik rumah tempat selalu diadakannya ritual Mattemu Taung, Jalan Bali nomor 19.
Akulturasi budaya semacam ini akan tetap dipertahankan oleh komunitas bissu maupun Baba Sanro. Karena keberadaan dua komunitas ini menjadi warnai budaya pelengkap dalam keberagaman tradisi yang ada di kota Angin Mammiri.
(Reportase : Yulianti ) from www.makassarterkini.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar